Tuesday, March 25, 2008

SBY vs Maria Ozawa


Jika mengetik nama SBY dan Maria Ozawa pada Google Trends maka akan diperoleh hasil bahwa nama Ozawa lebih populer dibanding nama SBY. Andai para pemilih di Google Trends itu adalah publik Jepang, barangkali tak terlalu aneh. Namun dari hasil Google Trends, para pemilihnya justru publik Indonesia.

SIAPA yang tak kenal SBY? Presiden RI itu disebut-sebut masih tetap populer di tengah berbagai terjangan isu miring terhadap pemerintahannya, keluarganya dan sebagainya- dibandingkan lawan politiknya. Pada tahun lalu, sebuah lembaga survei domestik bahkan menempatkan SBY di urutan teratas dari nama-nama yang dianggap bakal maju dalam Pemilu 2009. Wajahnya yang kata sebagian orang ganteng, sikapnya yang tenang dan katanya juga berwibawa, itu, menjadi salah satu modal kepopuleran SBY.

Namun temuan Hermansaksono yang satu ini mengejutkan. Lewat Google Trends, bloger itu mencoba membandingkan ketenaran SBY dengan seorang perempuan Jepang bernama Maria Ozawa. Hasilnya SBY kalah telak alias kalah populer dibanding Ozawa. Andai pemilih di Google Trends itu adalah publik Jepang, barangkali tak terlalu aneh. Namun dari hasil Google Trends, para pemilihnya justru publik Indonesia.

Dari lima kota besar yang tercantum di Google Trends, SBY hanya “menang” di Surabaya. Sementara empat kota lainnya, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Medan, Ozawa lebih populer dari SBY. Untuk ukuran wilayah (provinsi), Jawa Timur masih memilih SBY sebagai sosok yang populer tapi di Sumatra Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta, kepopuleran Ozawa melampaui SBY. Hasil seperti yang ditunjukkan oleh Google Trends itu, ternyata sudah berlangsung sejak 2005 dan bertahan hingga sekarang dengan nama Ozawa di urutan atas.

Hasil yang ditunjukkan oleh Google Trends itu, tentu bukan soal sahih atau tidak sahih, misalnya menyangkut metode polling dan sebagainya. Hasil itu juga tak bisa dianggap sebagai sebuah fakta ilmiah, meskipun seharusnya juga tak bisa diabaikan misalnya hanya sekadar dinilai sebagai sesuatu yang tidak serius.

SBY adalah presiden dari sebuah negara bernama Republik Indonesia yang berpenduduk 250 jutaan orang. Karena itu kecil kemungkinannya atau akan sedikit sekali, penduduk Indonesia yang tidak mengenal namanya. Bagi sebagian kecil publik Jepang, nama SBY pastilah juga dikenal. Nama SBY melambung tinggi beberapa bulan sebelum Pemilu Presiden 2004 dan bertahan hingga beberapa bulan sesudahnya. Meskipun berkurang, hingga sekarang nama SBY tetap populer dibandingkan para tokoh lain di Indonesia, terutama mereka yang bakal maju dalam Pemilu Presiden 2009.

Sementara Ozawa adalah bintang porno dari sebuah negara berpenduduk 120 jutaan orang bernama Jepang. Besar kemungkinannya, yang mengenal Ozawa adalah hanya orang-orang yang “berkepentingan” dengan Ozawa, misalnya para lelaki hidung belang dan sebagainya. Dan di Indonesia, niscaya akan sedikit sekali yang mengenal nama Ozawa, meskipun dia berjuluk bintang porno. “Lantas apa artinya ini,” kata Hermansaksono, designer yang bermukim di Yogyakarta itu.

Hermansaksono mungkin hanya iseng memasukkan kata kunci SBY dan Ozawa tapi keisengannya, menghasilkan sesuatu yang tidak bisa dianggap tidak serius. Presiden RI kalah populer dengan bintang porno Jepang, justru di negaranya sendiri.

”Apakah berarti bangsa ini sedemikian negatif sehingga pemerintah harus turun tangan? Saya coba bandingkan pencarian ‘Ozawa’ dan ‘Shinzo Abe‘ di Jepang, dan ternyata kedua tokoh itu bersaing ketat di pencarian Google. Kalau begini, apa lantas orang Jepang lebih bermoral? Atau mungkin, demand Maria Ozawa yang tinggi di Indonesia bukan karena kita bejat, tapi karena dilarang pemerintah. Mungkin. Kurang tahu juga. Tidak ada yang paling benar di dunia ini.” Begitulah “analisis” Hermansaksono.

Anda ingin membuktikannya? Coba saja buka Google Trends dan masukkan “SBY, Maria Ozawa” lalu lihat hasilnya.

Mati Serius Cara Ketawa

Di Indonesia, tak ada cerita koran atau majalah mati dalam keadaan atau dengan cara ketawa. Pasti dengan sedih dan duka derita. Kenapa? karena negara kita adalah negara Indonesia, bukan negara Madura.

Oleh Emha Ainun Nadjib

BUKAN politik yang saya bicarakan, melainkan agama. Bagi orang Madura yang umumnya religius dan sangat serius dengan religiusitasnya, mati adalah kegembiraan yang kalau Tuhan membolehkan - akan mereka jalani dengan tertawa-tawa. Bagaimana tidak, wong mati itu artinya sukses berpisah dari dunia yang kerjaannya cuma menipu, dan ketemu dengan Kekasih yang amat didamba-damba, itu pun dengan jarak waktu yang tak terbatas, bahkan waktu itu sendiri tak cukup untuk menampung pertemuan mesra antara para kekasih dengan Kekasih mereka.

Karena itu kalau mereka berduyun-duyun pergi ke masjid, berbinar-binar wajah mereka. Kalau mereka pergi haji ke Mekah, bercahayalah air muka mereka, sambil diam-diam berdoa: “Kekasih, ambillah aku selama-lamanya! Tak usah Engkau kirim aku kembali ke negeri tipu daya yang penuh fatamorgana di toko-toko serba ada, serta yang kalau seorang bupati mendapatkan rakyatnya mati ditembak tentara dalam proyek yang dijalankannya, ia malah tampak bangga….”

Lain dengan kita yang di Jawa, terutama di Jakarta. Kalau pergi salat Jumat, cemberut wajah kita, dan sesampainya di masjid, dijamin pasti mengantuk mata kita. Kita di kota-kota besar, di wilayah-wilayah metropolitan dari peradaban yang mengaku paling maju ini, telah menjatuhkan pilihan untuk berpacaran tidak dengan Kekasih Sejati, melainkan dengan kesenangan-kesenangan temporer, dengan kekasih-kekasih sementara yang kita book per-jam, dengan kendaraan-kendaraan yang selalu baru, syukur berusia di bawah 20 tahun, serta dengan kedudukan-kedudukan yang jasanya adalah membuat kita merasa cemas akan dijatuhkan oleh para demonstran darinya.

Jadi bagi kita yang sudah “maju”, yang ada hanya mati cemberut, mati tidak rela. Mati kita tidak serius, tidak benar-benar bersedia menerima mati, alias terpaksa. Kalau malaikat bertanya: “Maunya kamu hidup sampai umur berapa sih?” Kita menjawab, “Yaaah, paling tidak 70 tahun-lah.” Malaikat menggoda: “Bagaimana kalau saya usulkan ke Tuhan umurmu diperpanjang 10 tahun lagi, jadi 80 tahun?” Kita menjawab, “Wah, alhamdulillah banget”. “kalau ditambah jatah 20 tahun lagi, mau?” Wajah kita malu-malu, tapi jawaban kita jelas: “Ya, mosok ndak mau…”

“Kalau 30 tahun lagi, 40 tahun lagi, 1000 tahun lagi….?” Kita salah tingkah, tapi jelas: mau! Padahal ternyata Tuhan hanya ngasih jatah kita 55 tahun, dan itu hak Dia sepenuhnya, wong Dia yang bikin kita, Dia yang memiliki license dan copyright atas eksistensi kita seratus persen. Mau apa, lu? Ya, kagak mau ape-ape. Jangankan ame Tuhan, mau melawan petugas saja ampun-ampun. Cuma dongkol doang. Nelangsa. Sampai akhirnya benar-benar mati, mati nelangsa.

Padahal orang Madura tidak mati nelangsa. Mereka umumnya mati ketawa. Rela mati, bahkan memang mengharapkan mati. Karena mati bukan tragedi, melainkan pertemuan cinta abadi. Karena itu juga Madura lebih ringan membayangkan indikator apa saja yang bisa membawa ke kematian. Carok tidak keberatan: akibat paling puncak paling-paling kan mati. Dan carok kan peristiwa untuk membela kehormatan, harga diri dan nilai moral.

Memang carok bukan cara yang dewasa dan beradab untuk menyelesaikan masalah. Tapi terus terang saja mereka yang tidak setuju, tak menerima dan tak berani carok itu bukan berarti sudah dewasa dan lebih beradab. Mereka tak mau carok karena memang standar kehormatan, harga diri dan moralitas yang hendak dipertahankan memang sudah tidak ada, atau sekurang-kurangnya sudah tipis, sudah dikurangi sambil ditutup-tutupi dengan argumentasi-argumentasi yang muluk-muluk cara orang modern mengkosmetiki bibirnya yang kebanyakan nyinyir.

Alhasil, arti Mati Ketawa Cara Madura, adalah mati serius yang dijalani gembira
dan batin tertawa-tawa. Mati mereka serius, sehingga hidup pun mereka jalani dengan serius, karena kehidupan adalah suku cadang untuk merakit kematian yang sebaik-baiknya. Setetes darah pun mereka hayati dengan penuh keseriusan, dengan penuh prinsip dan pertimbangan nilai yang matang.

Ketika seorang pemuda Madura tergeletak di rumah sakit, diinfus dan membutuhkan sumbangan darah untuk dipompakan ke dalam tubuhnya agar bertahan hidup - ia tetap juga serius untuk memoralkan setiap tetes darah yang akan masuk ke dalam dirinya.
Tatkala darah yang dibawa kepadanya adalah darah salah seorang pamannya, ia menolak keras: “Saya ‘dak sudi dimasuki darah paman saya! Lha wong dia suka maling dan ganggu istri orang. Kalau darah dia mengalir di badan saya, siapa yang kelak akan mempertanggungjawabkan darah itu di depan Tuhan? Darah itulah yang menjadi sumber tenaga dari kekuatan-kekuatan kurang ajar dia, saya ‘dak sudi dibebani kekurangajaran itu. Dan kalau nanti darahnya saya pakai untuk amal, saya ‘dak mau dia yang mendapat pahala!”

Betapa ketawa kematian mereka…..

Sunday, March 23, 2008

steve jobs: kamu harus temukan apa yang kamu sukai

naskah pidato Steve Jobs, CEO Apple Computer dan Studio Animasi Pixar,
di acara pelepasan mahasiswa Stanford, 12 Juni 2005.

Kisahnya dimulai sebelum saya lahir. Ibu kandung saya adalah mahasiswi
belia yang hamil karena "kecelakaan" dan memberikan saya kepada
seseorang untuk diadopsi. Dia bertekad bahwa saya harus diadopsi oleh
keluarga sarjana, maka saya pun diperjanjikan untuk dipungut anak
semenjak lahir oleh seorang pengacara dan istrinya. Sialnya, begitu
saya lahir, tiba-tiba mereka berubah pikiran karena ingin bayi
perempuan. Maka orang tua saya sekarang, yang ada di daftar urut
berikutnya, mendapatkan telepon larut malam dari seseorang: "kami
punya bayi laki-laki yang batal dipungut; apakah Anda berminat? Mereka
menjawab: "Tentu saja." Ibu kandung saya lalu mengetahui bahwa ibu
angkat saya tidak pernah lulus kuliah dan ayah angkat saya bahkan
tidak tamat SMA. Dia menolak menandatangani perjanjian adopsi.
Sikapnya baru melunak beberapa bulan kemudian, setelah orang tua saya
berjanji akan menyekolahkan saya sampai perguruan tinggi.

Dan, 17 tahun kemudian saya betul-betul kuliah. Namun, dengan naifnya
saya memilih universitas yang hampir sama mahalnya dengan Stanford,
sehingga seluruh tabungan orang tua saya– yang hanya pegawai rendahan–
habis untuk biaya kuliah. Setelah enam bulan, saya tidak melihat
manfaatnya. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup
saya dan bagaimana kuliah akan membantu saya menemukannya. Saya sudah
menghabiskan seluruh tabungan yang dikumpulkan orang tua saya seumur
hidup mereka. Maka, saya pun memutuskan berhenti kuliah, yakin bahwa
itu yang terbaik. Saat itu rasanya menakutkan, namun sekarang saya
menganggapnya sebagai keputusan terbaik yang pernah saya ambil.

Begitu DO, saya langsung berhenti mengambil kelas wajib yang tidak
saya minati dan mulai mengikuti perkuliahan yang saya sukai.

Masa-masa itu tidak selalu menyenangkan. Saya tidak punya kamar kos
sehingga menumpang tidur di lantai kamar teman-teman saya. Saya
mengembalikan botol Coca-Cola agar dapat pengembalian 5 sen untuk
membeli makanan. Saya berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu
malam untuk mendapat makanan enak di biara Hare Krishna. Saya
menikmatinya. Dan banyak yang saya temui saat itu karena mengikuti
rasa ingin tahu dan intuisi, ternyata kemudian sangat berharga. Saya
beri Anda satu contoh:

Reed College mungkin waktu itu adalah yang terbaik di AS dalam hal
kaligrafi. Di seluruh penjuru kampus, setiap poster, label, dan
petunjuk ditulis tangan dengan sangat indahnya. Karena sudah DO, saya
tidak harus mengikuti perkuliahan normal. Saya memutuskan mengikuti
kelas kaligrafi guna mempelajarinya. Saya belajar jenis-jenis huruf
serif dan san serif, membuat variasi spasi antar kombinasi kata dan
kiat membuat tipografi yang hebat. Semua itu merupakan kombinasi cita
rasa keindahan, sejarah dan seni yang tidak dapat ditangkap melalui
sains. Sangat menakjubkan.

Saat itu sama sekali tidak terlihat manfaat kaligrafi bagi kehidupan
saya. Namun sepuluh tahun kemudian, ketika kami mendisain komputer
Macintosh yang pertama, ilmu itu sangat bermanfaat. Mac adalah
komputer pertama yang bertipografi cantik. Seandainya saya tidak DO
dan mengambil kelas kaligrafi, Mac tidak akan memiliki sedemikian
banyak huruf yang beragam bentuk dan proporsinya. Dan karena Windows
menjiplak Mac, maka tidak ada PC yang seperti itu. Andaikata saya
tidak DO, saya tidak berkesempatan mengambil kelas kaligrafi, dan PC
tidak memiliki tipografi yang indah. Tentu saja, tidak mungkin
merangkai cerita seperti itu sewaktu saya masih kuliah. Namun, sepuluh
tahun kemudian segala sesuatunya menjadi gamblang.

Sekali lagi, Anda tidak akan dapat merangkai titik dengan melihat ke
depan; Anda hanya bisa melakukannya dengan merenung ke belakang. Jadi,
Anda harus percaya bahwa titik-titik Anda bagaimana pun akan terangkai
di masa mendatang. Anda harus percaya dengan intuisi, takdir, jalan
hidup, karma Anda, atau apapun istilah lainnya. Pendekatan ini
efektif dan membuat banyak perbedaan dalam kehidupan saya.

Cerita Kedua Saya: Cinta dan Kehilangan.

Saya beruntung karena tahu apa yang saya sukai sejak masih muda. Woz
dan saya mengawali Apple di garasi orang tua saya ketika saya berumur
20 tahun. Kami bekerja keras dan dalam 10 tahun Apple berkembang dari
hanya kami berdua menjadi perusahaan 2 milyar dolar dengan 4000
karyawan. Kami baru meluncurkan produk terbaik kami–Macintosh– satu
tahun sebelumnya, dan saya baru menginjak usia 30. Dan saya dipecat.
Bagaimana mungkin Anda dipecat oleh perusahaan yang Anda dirikan? Yah,
itulah yang terjadi. Seiring pertumbuhan Apple, kami merekrut orang
yang saya pikir sangat berkompeten untuk menjalankan perusahaan
bersama saya. Dalam satu tahun pertama,semua berjalan lancar. Namun,
kemudian muncul perbedaan dalam visi kami mengenai masa depan dan kami
sulit disatukan. Komisaris ternyata berpihak padanya. Demikianlah, di
usia 30 saya tertendang. Beritanya ada di mana-mana. Apa yang menjadi
fokus sepanjang masa dewasa saya, tiba-tiba sirna. Sungguh menyakitkan.

Dalam beberapa bulan kemudian, saya tidak tahu apa yang harus saya
lakukan. Saya merasa telah mengecewakan banyak wirausahawan generasi
sebelumnya –saya gagal mengambil kesempatan. Saya bertemu dengan David
Packard
dan Bob Noyce dan meminta maaf atas keterpurukan saya. Saya
menjadi tokoh publik yang gagal, dan bahkan berpikir untuk lari dari
Silicon Valley. Namun, sedikit demi sedikit semangat timbul kembali–
saya masih menyukai pekerjaan saya. Apa yang terjadi di Apple sedikit
pun tidak mengubah saya. Saya telah ditolak, namun saya tetap cinta.
Maka, saya putuskan untuk mulai lagi dari awal.

Waktu itu saya tidak melihatnya, namun belakangan baru saya sadari
bahwa dipecat dari Apple adalah kejadian terbaik yang menimpa saya.
Beban berat sebagai orang sukses tergantikan oleh keleluasaan sebagai
pemula, segala sesuatunya lebih tidak jelas. Hal itu mengantarkan saya
pada periode paling kreatif dalam hidup saya.

Dalam lima tahun berikutnya, saya mendirikan perusahaan bernama NeXT,
lalu Pixar, dan jatuh cinta dengan wanita istimewa yang kemudian
menjadi istri saya. Pixar bertumbuh menjadi perusahaan yang
menciptakan film animasi komputer pertama, Toy Story, dan sekarang
merupakan studio animasi paling sukses di dunia. Melalui rangkaian
peristiwa yang menakjubkan, Apple membeli NeXT, dan saya kembali lagi
ke Apple, dan teknologi yang kami kembangkan di NeXT menjadi jantung
bagi kebangkitan kembali Apple. Dan, Laurene dan saya memiliki
keluarga yang luar biasa.

Saya yakin takdir di atas tidak terjadi bila saya tidak dipecat dari
Apple. Obatnya memang pahit, namun sebagai pasien saya memerlukannya.
Kadangkala kehidupan menimpakan batu ke kepala Anda. Jangan kehilangan
kepercayaan. Saya yakin bahwa satu-satunya yang membuat saya terus
berusaha adalah karena saya menyukai apa yang saya lakukan. Anda harus
menemukan apa yang Anda sukai. Itu berlaku baik untuk pekerjaan maupun
pasangan hidup Anda. Pekerjaan Anda akan menghabiskan sebagian besar
hidup Anda, dan kepuasan sejati hanya dapat diraih dengan mengerjakan
sesuatu yang hebat. Dan Anda hanya bisa hebat bila mengerjakan apa
yang Anda sukai. Bila Anda belum menemukannya, teruslah mencari.
Jangan menyerah. Hati Anda akan mengatakan bila Anda telah
menemukannya. Sebagaimana halnya dengan hubungan hebat lainnya,
semakin lama- semakin mesra Anda dengannya. Jadi, teruslah mencari
sampai ketemu. Jangan berhenti.

Cerita Ketiga Saya: Kematian

Ketika saya berumur 17, saya membaca ungkapan yang kurang lebih
berbunyi: "Bila kamu menjalani hidup seolah-olah hari itu adalah hari
terakhirmu, maka suatu hari kamu akan benar." Ungkapan itu membekas
dalam diri saya, dan semenjak saat itu, selama 33 tahun terakhir, saya
selalu melihat ke cermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri:
"Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya tetap melakukan apa
yang akan saya lakukan hari ini?" Bila jawabannya selalu "tidak" dalam
beberapa hari berturut-turut, saya tahu saya harus berubah.

Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah kiat penting yang saya
temukan untuk membantu membuat keputusan besar. Karena hampir segala
sesuatu–semua harapan eksternal, kebanggaan, takut, malu atau
gagal–tidak lagi bermanfaat saat menghadapi kematian. Hanya yang
hakiki yang tetap ada. Mengingat kematian adalah cara terbaik yang
saya tahu untuk menghindari jebakan berpikir bahwa Anda akan
kehilangan sesuatu. Anda tidak memiliki apa-apa. Sama sekali tidak ada
alasan untuk tidak mengikuti kata hati Anda.

Sekitar setahun yang lalu saya didiagnosis mengidap kanker. Saya
menjalani scan pukul 7:30 pagi dan hasilnya jelas menunjukkan saya
memiliki tumor pankreas. Saya bahkan tidak tahu apa itu pankreas. Para
dokter mengatakan kepada saya bahwa hampir pasti jenisnya adalah yang
tidak dapat diobati. Harapan hidup saya tidak lebih dari 3-6 bulan.
Dokter menyarankan saya pulang ke rumah dan membereskan segala
sesuatunya, yang merupakan sinyal dokter agar saya bersiap mati.
Artinya, Anda harus menyampaikan kepada anak Anda dalam beberapa menit
segala hal yang Anda rencanakan dalam sepuluh tahun mendatang.
Artinya, memastikan bahwa segalanya diatur agar mudah bagi keluarga
Anda. Artinya, Anda harus mengucapkan selamat tinggal.

Sepanjang hari itu saya menjalani hidup berdasarkan diagnosis
tersebut. Malam harinya, mereka memasukkan endoskopi ke tenggorokan,
lalu ke perut dan lambung, memasukkan jarum ke pankreas saya dan
mengambil beberapa sel tumor. Saya dibius, namun istri saya, yang ada
di sana, mengatakan bahwa ketika melihat selnya di bawah mikroskop,
para dokter menangis mengetahui bahwa jenisnya adalah kanker pankreas
yang sangat jarang, namun bisa diatasi dengan operasi. Saya dioperasi
dan sehat sampai sekarang.

Itu adalah rekor terdekat saya dengan kematian dan berharap terus
begitu hingga beberapa dekade lagi. Setelah melalui pengalaman
tersebut, sekarang saya bisa katakan dengan yakin kepada Anda bahwa
menurut konsep pikiran, kematian adalah hal yang berguna:

Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga
pun tidak ingin mati dulu untuk mencapainya. Namun, kematian pasti
menghampiri kita. Tidak ada yang bisa mengelak. Dan, memang harus
demikian, karena kematian adalah buah terbaik dari kehidupan. Kematian
membuat hidup berputar. Dengannya maka yang tua menyingkir untuk
digantikan yang muda. Maaf bila terlalu dramatis menyampaikannya,
namun memang begitu.

Waktu Anda terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup
orang lain. Jangan terperangkap dengan dogma–yaitu hidup bersandar
pada hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan omongan orang
menulikan Anda sehingga tidak mendengar kata hati Anda. Dan yang
terpenting, miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi
Anda, maka Anda pun akan sampai pada apa yang Anda inginkan. Semua hal
lainnya hanya nomor dua.

Ketika saya masih muda, ada satu penerbitan hebat yang bernama "The
Whole Earth Catalog", yang menjadi salah satu buku pintar generasi
saya. Buku itu diciptakan oleh seorang bernama Stewart Brand yang
tinggal tidak jauh dari sini di Menlo Park, dan dia membuatnya
sedemikian menarik dengan sentuhan puitisnya. Waktu itu akhir 1960-an,
sebelum era komputer dan desktop publishing, jadi semuanya dibuat
dengan mesin tik, gunting, dan kamera polaroid. Mungkin seperti Google
dalam bentuk kertas, 35 tahun sebelum kelahiran Google: isinya padat
dengan tips-tips ideal dan ungkapan-ungkapan hebat.

Stewart dan timnya sempat menerbitkan beberapa edisi "The Whole Earth
Catalog", dan ketika mencapai titik ajalnya, mereka membuat edisi
terakhir. Saat itu pertengahan 1970-an dan saya masih seusia Anda. Di
sampul belakang edisi terakhir itu ada satu foto jalan pedesaan di
pagi hari, jenis yang mungkin Anda lalui jika suka bertualang. Di
bawahnya ada kata-kata: "Stay Hungry. Stay Foolish." (Tetaplah Lapar.
Selalu Merasa Bodoh). Itulah pesan perpisahan yang dibubuhi
tanda tangan mereka. Stay Hungry. Stay Foolish. Saya selalu
mengharapkan diri saya begitu. Dan sekarang, karena Anda akan lulus
untuk memulai kehidupan baru, saya harapkan Anda juga begitu.

Stay Hungry. Stay Foolish.

Terima kasih semuanya.